Selasa, 18 Januari 2011

TV adalah BOM paling mematikan pertama di Dunia settelah Bom Nuklir

Segala puji bagi Allah yang Maha dari Segala Maha, yang murbehing dumadi, yang menguasai dari yang terkecil hingga yang paling besar, dari segala sumber Keramahan, cinta kasih sayang, kedaimaian, Maha Bijaksana, Maha berilmu dan ber-Adab. Yang menciptakan segala sesuatunya dengan berpasang-pasang.

Solawat serta salam pada kanjeng Nabi Muhammad saw. Yang telah membawa satu perubahan zaman.

Bacalah dengan penuh kesabaran.. insya Allah akan mengerti. Jangan membaca ini hanya setang2…. Itu pesan saya

Kuberanikan diriku menuliskan gemuruh hatiku, yang selama bertahun-tahun di landa peperangan jiwa. ku beranikan diri untuk menorehkan pena kegelisahan hatiku dan fikiranku, mungkin karna sudah terlanjur basi, sebasi parademonstran yang setiaphari terjadi didepan mataku. Tulisanku tak ubahnya hanya sebuh kentut, yang apabila tak di keluarkan akan terasa sakit diperut, bahkan bisa mengakibatkan masuk angin karna menahanya.

Pertama,“Indonesia” sebutan Negara yang ku huni saat ini, katanya bertanah subur makmur aman dan nyaman, ada juga yang menyatakan gemah ripah loh jinawi. Seakan-akan baru pagi ini aku benar-benar merasa itu semua telah sirna dihadapanku. Hampir tak sempat aku mencarinya karma di hadapanku sekarang tak ada yang bisa aku maknai. Mungkin karma Indonesia terlalu unik. “Demokratis”, sebuah kata-kata yang renyah namun “busuk”. Kedengaranya baik dan bagus, namun Beringas. Mau tidak mau itu terjadi sekarang. Ntah sampai kapan “Indonesia_Dmokratis” akan seperti ini.

Demo, perkosaan, pembunuhan, saling sikut, penggusuran lahan, perbudakan, intimidasi, membuka aib, gossip, bencana dll adalah hidanganku setiaphari. Seakan-akan aku hidup di Indonesia yang berbeda dengan apa yang dituturkan para pendahuluku. Aku tak dapat meng-eja satu persatu.. karna tak ada lagi yang aku pilah dan aku pilih.. semuanya “salah kaprah dimataku”, atau mungkin aku saja yang merasa antara kesalahan dan kebaikan tak bisalagi aku bedakan. Mungkin karna kebodohanku melihat ketidak ramahan di media yang semakin hari semakin melakukan pemerkosaan fikiran dan menjadi bom waktu bagi hati manusia yang melihat dan membacanya. Media yang dianggap sebagai tali media, tak bisa menjadi sebuah mediasi yang baik. yang sebenarnya harus menjadi bahan peran penyeimbang wawasan malah menjadi bom yang paling mengerikan pertama di Dunia. Aku lebih sepakat ini adalah bom yang tak bisa di cegah oleh siapapun kecuali Tuhan. Jika bom Nuklir mengabiskan banyak nyawa. Namun ini lebih dari itu. Dan yang seharusnya di lakukan oleh manusia atau pengkonsumsi media harus lebih peka, lebih tau dan bisa memilah. Namun seberapapun diri mereka peka dan bisa memilih, namun tetap mengancam, karna generasi yang akan datang belum tentu dapat menerima apa yang kita takutkan. Banyak kasus-kasus kekinian, yang dialami anak-anak kita. Salah satunya adalah “Sex”, dulu sex memang di anggap tabu. Karan di dalam ke-tabuan terdapat ke-imanan, namun tidak semua yang tabu itu berarti iman. dulu kala ketika sex masih di anggap tabu, kasus pemerkosaan hampir bisa di hitung oleh jari.

Dosa apakah yang ku perbuat.. aku tak dapt lagi menghirup wewangian bunga peradaban. sudah lama aku tak bisa tidur terlelap. Tak bisa pula aku bisa menolong diriku yang terlanjur tercebur di gelombang pasang. S

Media yang semakin hari semakin mejadi sebuah trend di masyarakat baik anak kecil dewasa nenek-nenek dll, adalah manivestasi dari sebuah kemajuan “elektronik”. Namun hal ini tidak di imbangi dengan besic penikmat TV. Degradasi sebuah kekurangan yang di anggap kurang menguntungkan jika seorang penikmat TV melahap mentah-mentah yang ada pada Tv tersebut. Media elektronik yang disebut TV memang banyak memberikan sumbangsih yang besar dalam hal ini informasi-informasi yang ada di lura daerah. Namun semakin bertambahnya pola industry elektronik dan persaningan yang kurang sehat seakan-akan TV bisa menjadi sebuah penentu pergerakan.

Dapat di gambarkan, bahwa media yang satu ini sedikit banyak membawa virus yang sangat mematikan peradaban, melebihi bom nuklir yang terdapat dimanapun. Kenapa saya bilang seperti itu?.

Pertama, jika kita jeli dan peka terhadap apa yang kita lihat mungkin sangat bisa merasakan betul, bahwa TV memberikan suguhan yang “mentah” kementahan ini di awali dari beberapa kehidupan sehari-hari pasalnya dari beberapa masyarakat hamper sebagian besar adalah penikmat yang berbeda-beda, dari konglomerat, ilmuan, wirausaha, petani dan kaum buruh serta sector-sektor yang lain. Kementaha ini mengakibatkan cara untuk menerima dari kementahan ini meng eks-preskan berbeda-beda. Diskursus tersebut juga terjadi di beberapa perjalanan sejarah pemikiran hingga saat ini.

Kedua, ketidak jelasan media TV . salah satu studi kasus yang dapat membuat TV tidak jelas adalah menyiarkan tanpa alami. Atau di buat-buat, apalagi seiring pergesekan media televisi yang semakin harii semakin berlomba-lomba menyiarkan hal-hal yang kurang dianggap perlu. Saya tidak perlu menyebutkan satu persatu. Sudah sangat jelas di depan mata. Banyaknya TV yang sekarang di pesan oleh para seponsor dengan reality show yang kurang memebrikan kepositivan. Salah satunya adalah berita tentang luna vs ariel. Disisi yang satu memang sangat perlu namun. Pemberitaan yang semakin terus menerus membuat orang yang melihat mendengar itu jadi “penasaran”. Nah penasaran ini mengakibatkan dampak yang kurang positif dalam pemikiran dan pesikologi pendidikan.

Ketiga, hak alami yang semakin di perkosa oleh media. Ada pepatah menyatakan jika “belajar berawal dari melihat” maka ia pun langkah selanjutnya ingin merasakan dan melakukan hal yang sama. Namun jika pemberitaan mengenai hal yang negative, maka penkmat akan selalu menjadi kecanduan melebihi pecandu narkoba. Dengan kata lain kecanduan narkoba lebih baik dari pada kecanduan TV.

Kedua, hilangnya kebudayaan kemanusiaan yang ber-adab berbudaya berakhlak dan mengeksplorasikan kedalam wadah yang lebih “sehat” walau dalam “kesehatan” bisa di artikan obyektiv dan subjective. Al-hasil sebuah kebudayaan yang akan hilang agar sedikit lebih mengena dan aga berbau intelektual saya akan berbicara tentang beberapa venomena yang menyangkut hal tersebut. Kebudayaan didefinisikan dengan berbagai cara. Bisa dimulai dengan sebuah definisi yang tipikal, yaitu definisi yang diusulkan oleh Marvin Harris dalam buku The Rise of Anthropological Theory (1968) : “konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat”. Membatasi definisi kebudayaan dengan pengetahuan yang dimiliki bersama, tidaklah menghilangkan perhatian pada tingkah laku, adat, objek, dan emosi. Terjadi pengubahan penekanan dari berbagai fenomena ini menjadi penekanan pada makna berbagai fenomena itu. Konsep kebudayaan ini (sebagai suatu sistem simbol yang mempunyai makna) banyak mempunyai persamaan dengan interaksionalisme simbolik, sebuah teori yang berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna interaksionalisme simbolik berakar dari karya para ahli sosiologi seperti Cooly, Mead, dan Thomas. Blumer mengidentifikasikan tiga premis sebagai landasan teori ini sebagaimana yang dikemukakannya dalam Simbolic Interactionalism:

Premis Pertama

Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya, bahwa orang tidak bertindak terhadap berbagai hal ini, tetapi terhadap makna yang dikandungnya.

Premis Kedua

Yang mendasari interaksionalisme simbolik adalah bahwa makna dari berbagai hal itu berasal dari atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan, sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Budaya masing-masing kelompok, tak dapat disangkal lagi, terikat dengan kehidupan sosial komunitas mereka yang khas.

Premis Ketiga

Makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang ia hadapi. Menggunakan kebudayaan untuk menginterpretasikan situasi. Aspek penafsiran ini dapat dilihat secara lebih jelas apabila menganggap kebudayaan sebagai peta berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari. Peta kognitif berperan sebagai pedoman untuk bertindak dan menginterpretasikan pengalaman. Peta kognitif tidak memaksa untuk mengikuti suatu urutan tertentu karena kebanyakan kehidupan merupakan serangkaian kesempatan sosial yang tidak diketahui sebelumnya. Walau suatu kebudayaan tidak mencakup suatu peta detail mengenai berbagai kejadian, namun memberikan prinsip-prinsip untuk menginterpretasikan dan memberi respon terhadap kebudayaan itu.

Hegemoni Pasar dalam Perubahan Budaya

Mungkin proses-proses yang paling terbuka dan paling sadar yang digunakan nilai-nilai materialisme rasional untuk menemukan cara untuk memasuki budaya rakyat adalah dengan timbulnya pemasaran, yang melibatkan suatu pembentukkan kembali budaya secara disengaja alias rekayasa kebudayaan. Budaya suatu masyarakat manusia amat mirip dengan apa yang dinamakan ilmuwan fisika dengan bidang (field),aitu suatu konsep yang mereka kembangkan untuk menjelaskan kepaduan yang dengannya zat fisikal mengatur dirinya. Sebuah bidang itu adalah kekuatan universal yang merembesi ruang dan melaksanakan pengaruh terhadap zat, seperti sebuah bidang elektromagnetik atau suatu bidang daya tarik. Bidang-bidang itu per definisi tidak dapat dilihat, dan hanya dapat dideteksi dan diukur dengan efek-efek materialnya. Demikian pula, budaya atau kebudayaan adalah bidang-bidang masyarakat yang mengatur namun tidak terlihat. Meskipun budaya-budaya itu merembesi ruang-ruang sosial kita, namun ia hanya dapat terlihat dalam perilaku orang-orang yang dapat diamati, yang sama-sama berbagi dan menganut nilai-nilai dan ketentuan-ketentuannya. Semua itu penting bagi setiap penjelasan dari fungsi masyarakat yang padu, sama pentingnya dengan bidang elektromagnetik dan bidang daya tarik dalam menjelaska susunan suatu zat. Sebagai makhluk sosial, kita memiliki dorongan yang kuat untuk bereaksi terhadap bidang-bidang budaya itu dan kuat pula alasannya. Bidang budaya itu memberikan kemampuan bagi masyarakat manusia untuk berfungsi secara terpadu tanpa adanya kekuasaan lembag terpusat yang memaksa, yang menurut filsafat Hobbesian perlu sekali untuk mengendalikan naluri kita yang lebih rendah. Apabila suatu bidang budaya timbul sebagai ekspresi pengalaman nilai dan aspirasi yang disepakati bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat, maka ia berfungsui sebagai mekanisme demokratis yang mendalam untuk mencapai kepaduan / koherensi sosial. Namun bila suatu kelompok kecil mampu mamanipulasi simbol – simbol dan nilai – nilai budaya masyarakat untuk mencapai tujuannya sendiri itu, maka proses reproduksi budaya dapat menjadi amat tidak demokratis dan amat destruktif. Seperti didokumentasikan secara amat luas oleh sejarawan Wiliam Leach, maka raksasa-raksasa pengecer pada akhir abad XIX dan awal abad XX telah memutuskan bahwa untuk meningkatkan keuntungan, mereka harus menciptakan permintaan yang lebih besar terhadap barang-barang mereka, dan harus mengganti budaya rakyat yang suka berhemat itu dengan budaya memuaskan nafsu sendiri. Mereka menjadi semakin pintar dalam menggunakan warna, kaca, dan cahaya untuk memberikan gambaran surga firdaus di atas dunia. Mereka menampilkan model-model yang cantik dan tampan untuk ditampilkan dalam peragaan mode, mereka mensponsori pameran museum – museum yang menggambarkan kehebatan budaya baru itu, dan menggunakan media massa untuk menenggelamkan orang dalam pesan yang memperkuat kembali budaya nafsu. Kartu kredit menjadikan bahwa segalanya tampak berada dalam jangkauan setiap orang. Dengan cara seperti itu, pengecer akhirnya menciptakan budaya konsumerisme yang digambarkan Leach sebagai “budaya masyarakat yang paling tidak disepakati yang pernah diciptakan”. Dewasa ini korporasi-korporasi terus bekerja keras mengubah budaya rakyat dunia khususnya masyarakat perkotaan, menjadi hedonisme ala Hobbes. Korporasi-korporasi tersebut sedang berusaha memantapkan hegemoni budaya kerakusan dan berkelebihan pada hampir setiap negara di dunia, dalam upaya mereka yang tak henti-hentinya mencari lebih banyak lagi pelanggan. Memang, kita sepantasnya memperhatikan apa yang sedang dilakukan gerombolan korporasi itu terhadap budaya-budaya yang belum mau berubah menjadi suatu bentuk perang nilai, dengan merendahkan nilai budaya mereka lewat tuduhan-tuduhan seperti ; kolot, membosankan dan miskin. Sebagai gantinya menawarkan janji-janji sorga materi yang mengasyikkan, menyenangkan,

Dengan kata lain jika di kaitan dengan media televise adalah sebuah perpaduan yang bisa di logiskan… jika kepekaan hati terhadap permasalahan ini maka tv adlah sebuah rekayasa pemusnahan kebudayaan yang sejati.. yakni memperbaiki budaya. TV tidak lagi berbudaya.

Salah satu hal yang harus di cermati adalah Indonesia tidak lagi bisa menghasilkan budaya yang sehat. Budaya yang bisa membaw kebanggan-kebenaran dan kesehatan di dalamnya. Hal ini juga pernah di alami oleh beberapa Negara di dunia. Namun yang perlu di catat bahwa ada beberapa hal. Diantaranya adalah hegomoni luar terhadap Indonesia lewat media yang ujung pangkalnya sebuah ffase peralihan kebudayaan, saya lebih sepakat ini adalah perang kebudayaan yang tidak di sadari kita.

Dalam sejarah juga pernah di sebutkan konsep-konsep hegemoni., diantaranya adalah konsep yang di usung Gramsci berpendapat bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller). Saya mencoba mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.

Soo.. singkat bicara..

Manusia adalah makhluk yang mengkonseptualisasilkan dan menyimbolkan, seperti dikemukakan oleh Leslie White, sesungguhnya manusialah satu-satunya mahluk yang dapat dibunuh dengan sebuah lambang, oleh sebab itu tampak masuk akal kalau kita anggap bahwa sistem simbol atau ideologi yang digunakan manusia untuk menjelaskan menanata sistem sosial serta alaminuya akan menentukan suatu perannadalam pelestarian serta perubahan struktur kemasyarakatan, akan tetapi pertaannya adalah seberapa besar pertan faktor ideologis dalam menentukan pelestarian serta perubahan kultural itu ?

Sebenarnya saya ingin menuiskan lebih banyak namun karna keterbatasan waktu akhirnya saya sudahi tulisan saya.dan dalam tulisan disini banyak yang di buang.

Solusinya: setiap manusia punya main beground yang berbeda-beda. Namun jika lebih jeli dan peka terhadap lingkungan maka anda sendiri yang dapat menentukan. Karna setiap kelakuan kita menentuakan bangsa agama peradaban dan pemikiran kedepan. So.. jangan terlalu TV…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar

wibiya widget

 
Great HTML Templates from easytemplates.com.